Curhat penting ga penting seorang emak

Jumat, 25 Mei 2007

Akar yang berbicara





Mata ini rasanya masih berat saat kaki setapak demi setapak melangkahi deretan rumah-rumah kecil penduduk yang berdiri berjajar mengikuti kontur tanah yang menanjak tidak teratur namun curam. Memang aku belum sempat tidur pulas sebelum berangkat ini . Pukul 02.00 rombongan kami tiba di kaki gunung Putri. Mobil tronton yang membawa kami dari Depok ke gunung putri tak sanggup melanjutkan perjalanannya karena jalan semakin menyempit dan menanjak curam. Semua penumpangnya berhamburan ke pasar terdekat dan mulai menyiapkan segala perbekalan dan kelengkapan mendaki gunung. Sebelum sampai di pasar itu belum apa-apa kakiku sudah mulai menegang dan nafasku memburu begitu cepat hingga tarikan-tarikan nafasnya terdengar begitu kencang.Begini ini orang yang jarang olahraga dan ga biasa jalan.Meskipun jalanannya beraspal tapi tanjakannya sudah mulai menggila..saat itu back pack yang kupakai sudah mulai menyakiti kedua bahuku. Ukurannya yang cukup besar ditambah beban yang lumayan banyak di kantong (terutama makanan he..he..) memperlambat pergerakan langkahku. Sebelum berangkat back pack itu sudah mengalami pembongkaran hampir 5 kali, rupanya packing back pack itu punya seninya tersendiri. Bagaimana pengaturan letak barang-barang di tas berpengaruh ke beban yang akan ditanggung pundak, punggung dan pinggang. Kalau bisa diatur dengan baik, beban tas akan lebih seimbang dan lebih nyaman dipunggung. Sayangnya, meskipun sudah berapa kali di bongkar, tasnya tetap berat !!,Untungnya malam itu langit sangat indah bertabur bintang-bintang yang jumlahnya luarbiasa banyak. Pertama kalinya dalam hidupku aku melihat bintang dengan jumlah sebanyak itu dan dengan jarak yang begitu dekat . Selama perjalanan naik, aku beberapa kali berjalan mundur sambil wajah menengadah ke langit..ternyata metode ini cukup ampuh untuk mengurangi beban di pundak. Cuma aku harus hati-hati juga karena di jalanan itu banyak melintas kendaraan angkot dengan kecepatan lumayan. Enak juga jalan mundur gitu,bahkan aku bisa sambil berlari-lari kecil naiknya
Start dari pasar, kami mulai naik ke atas menuju gunung Gede.Petualangan dimulai saat headlamp di kepalaku dengan kapasitas penyinaran seadanya mulai menyisir jalan setapak kecil yang diapit oleh ilalang –ilalang tinggi yang sanggup menyembunyikan hewan-hewan liar malam. Karena jalannya yang sempit dan licin, kami harus berjalan satu persatu seperti kereta api. Bayangkan kalau ada satu orang saja istirahat dan berhenti maka seluruh barisan harus menunggu di belakangnya. Benar-benar latihan kesabaran ..Gerimis kecil mulai menyambutku di bukit tersebut...memaksaku untuk lebih berkonsentrasi memilih pijakan kaki. Meskipun jalannya lurus namun tanjakannya lumayan tinggi, sebelumnya temenku yang pernah ke gunung Gede bilang kalau rutenya lewat gunung putri itu tanjakannya curam-curam dan menghabiskan energi. Benar kata temenku itu, tanjakannya lumayan tajam. Dihadapanku terhampar kebun-kebun sayuran dan wortel-wortel yang sudah busuk. Kami satu rombongan sempat nyasar ketika berada di perkebunan sayur itu. Harusnya belok kiri melewati sungai, kami malah berjalan terus naik ke atas. Wah..rasanya sayang banget energi terbuang..padahal naik ke atasnya sudah capek dan lumayan jauh lagi nyasarnya.. Akhirnya semuanya turun lagi mengikuti arah yang benar ke kiri. Karena kondisi badanku yang kurang fit saat itu, aku banyak berhenti. Senjataku untuk tetap kuat dan terjaga di malam itu hanya permen rasa lemon yang kutaruh penuh di saku jaketku. Perjalanan ini belum ada 1/4nya tapi aku sudah benar-benar kepayahan. Aku sulit menghirup udara di sekitar, dada sudah mulai sesak dan nafas memburu cepat meskipun sudah puluhan permen kukulum di mulut. Kondisi tubuh sepertinya kaget menerima perubahan drastis suhu dan gerakan otot-otot kaki yang begitu cepat. Badan sudah mulai lemas dan tak sanggup melanjutkan perjalanan. Dalam kondisi seperti ini, kupilih untuk berhenti dulu selama beberapa menit...untungnya temen-temen sekelompok juga tidak memaksakan aku untuk jalan terus, mereka juga akhirnya menemaniku beristirahat selama 15 menit.
Menuju Surya Kencana kami harus melewati 5 pos, dan belum satupun pos kami lewati. Diantara temen2 sekolompokku yang 7 orang, memang kondisi aku yang paling drop.
Jam 5.30 aku baru sampai di pos pertama. Perjalanan ke pos pertama dibantu dengan tongkat, duh udah kayak nenek-nenek aja. Tapi syukurlah keberadaan tongkat itu sangat membantu menegakkan tubuhku menghujam bumi.
Sampai pos 1 aku tidur di batang pohon dalam posisi melintir dipaksakan, rasanya sangat ga nyaman. Di pos 1 itu semua pendaki yang jumlahnya 30an mulai mengisi tenaga untuk melanjutkan perjalanan yang lebih berat setelah ini. Kalau ga tidur aku kayaknya ga akan sanggup untuk meneruskan perjalanan! karena kan aku belum tidur sama sekali dari semalam. Sebelum melanjutkan perjalanan, aku sarapan pagi dulu dengan bubur instan. Rasanya setelah tidur dan sarapan, kekuatanku mulai pulih kembali. Sebenarnya ini kurang baik buat kesehatan ginjal, tapi saat temen sekelompok menawarkan obat biar stamina tetap kuat , aku minum juga dopping extrajoss itu hampir segelas penuh.
Dengan semangat yang mulai pulih, aku lanjutkan perjalanan sekitar jam 7. selanjutkan kami akan memasuki hutan akar.
Aku sendiri kurang tahu namanya hutan apa, aku sebut saja hutan akar karena begitu banyak akar-akar pepohonan menjalar dimana-mana dengan ukuran yang berbeda-beda. Inilah kelebihan gunung Gede, hutan yang kami lalui termasuk hutan basah dengan pepohonan yang tinggi menjulang dan daun yang sangat rimbun hingga menghalangi terik matahari yang mulai naik menyengat kulit. Perjalanan berat kami dimulai di hutan akar ini. Masih puluhan kilo perjalananku tanpa sempat kuketahui pasti angkanya berapa. Jalur perjalanan lebih banyak dibentuk oleh akar pepohonan. Masing-masing akar menjalankan fungsinya masing-masing. Keberadaannya menghujam bumi dengan kuat, menjadi pondasi kokohnya pohon-pohon tinggi di hutan tersebut. Kebanyakan akar-akar pepohonannya menonjol keluar dari tanah. Ukurannya besar-besar dan kuat untuk menahan beban manusia yang bergantung padanya. Tongkat dari bambu yang sebelumnya kupakai sudah kuberikan pada temanku yang gantian drop pada perjalanan lanjutan ini. Selebihnya tanganku mulai bebas bergerak leluasa untuk memilih akar-akar pohon tempat aku berpegangan erat. Sehingga dengan sekali ayun, aku bisa lebih mudah untuk naik ke level selanjutnya yang tingginya rata-rata hampir sepinggang aku lebih. Tingginya tanjakan yang seolah-olah tidak pernah ada selesainya benar-benar menguras tenaga dan menghabiskan nafas. Rasanya sudah tidak kuat, sedangkan jaraknya masih ratusan meter lagi, makin lama tanjakan-tanjakannya semakin curam. Aku yang memakai rok memang harus ekstra hati-hati memanjat akar-akar tersebut, soalnya rokku itu sering nyangkut ke akar atau batang pohon. Tidak boleh mengeluh meskipun kondisimu seberat apapun...tidak boleh menyerah kecuali kalau kamu mau ditinggal di tengah hutan sendirian!...aku selalu tanamkan pesan itu dihatiku karena aku sendiri yang telah memilih perjalanan yang sulit ini. Subhanallahnya, aku bisa belajar disini. Belajar memanjat pohon seperti monyet dan melatih ketangkasan tangan. Alhamdulillah,Maha Suci ALLAH yang telah menciptakan semesta ini dengan begitu sempurnanya. Setiap aku menaiki tanjakan-tanjakan tersebut, selalu ada akar yang hadir disitu, seolah-olah akar itu memang diatur untuk hadir disitu menjadi pegangan tangan manusia yang memudahkannya menaiki bebatuan tinggi, bahkan kalau diperhatikan bentuknya..beberapa diantaranya memang berbentuk seperti pegangan tangan pada tarikan lemari/laci. Aku membayangkan keberadaan akar-akar itu seperti handrailing pada tangga yang memudahkan manusia untuk naik. Keberadaan akar-akar itu seperti buatan...padahal ia adalah asli terbentuk di alam. Tanpa dibentuk, tanpa diatur tapi ia sudah menyerupai pegangan tangan . Subhanallah... Akar itu seolah-olah berbicara padaku ”ayo pegang aku!aku akan menolongmu naik!”.. dan dua tangan ini tidak kesulitan mencari pegangan yang dapat menahan beban badan dan tas pada saat menaiki tanjakan yang terjal. Dua tangan ini lansung bekerja secara spontan mencari akar-akar terdekat tempat bergantung sebelum kaki mengayun naik. Sungguh ALLAH menciptakan sesuatu dengan sebaik-baiknya bentuk.Ia jadikan segala sesuatu itu bermanfaat dan tidak pernah sia-sia. Dan sungguh aku iri pada akar-akar itu yang telah bertasbih pada ALLAH dengan caranya sendiri dengan memberi manfaat pada manusia. Tanpa akar itu mungkin perjalananku akan semakin lama sampainya. Syukurlah sejak jam 7 pagi keberangkatan dari pos pertama..aku baru tiba di tempat perkemahan setelah 7 jam berada di hutan akar tersebut. Sampai Surya Kencana..aku langsung tepar dan tertidur teramat pulas di tenda. Ya ALLAH jadikan aku semakin mengerti arti hidup dan bersyukur atas segala nikmatMu....

1 Komentar:

Blogger Daud Sulaiman mengatakan...

hem2, jadi ini yang fithri katakan "kecintaan tanah air pasti lebih mudah tumbuh dibandingkan dengan slogan atau simbol
begitu juga dengan kepekaan mereka pada lingkungan"

3 September 2007 pukul 09.47

 

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda